EVERYDAY STARTS AT THE MIDNIGHT

Sunday, November 27, 2011

DI HUJUNG PELANGI – CHAPTER ONE



(BERTAHAN, PALING OFENSIF)
Oleh Mukhlis “elf” Rifani


Tubuh sudah terasa lunglai, di hari ini aku dimanjakan dengan kegiatan-kegiatan yang cukup untuk menguras lebih dari separoh energi. Aku mengklaim kebahagiaanku saat itu, aku seakan terbebas dari pikiran-pikiran yang menghantu, beban pikiran yang menagih rotasi kompromi, siklus kehidupan yang memelihara rasa takut di setiap rongga-rongga otakku. Kurasa kebahagiaanku jelas memantul cerminan wajah gembira, kini jaring sadarku menyaingi utopia. Pagiku gelak dan tawa, siangku indah bahagia, malamku ta mau mengalah, di hari sepekat jelaga, epilog kisahku semakin menggila. Sudah ku duga aku akan berubah wujud, tubuh yang sama, roh yang berbeda, sungguh tak nyata tetapi menyenangkan. Terucap tanya di benak ini, “Siapa motor pengendaliku malam ini?” di ujung hari lantang ku tantang pekat ku boikot semua belikat. Atau tubuh ini hanyalah tubuh tanpa pengendali, yang mencoba membangun imaji khayalan dan mempromosikan kebebasan hasrat, di saat ku hanya bisa menunggu saat fana dunia membangunkanku.

Rohku melihat tubuhku dari awang, melayang di antara konstelasi mencari tenang. Perlahan kembali mengingatkan tubuhku, mengalunkan metronom aransemen merdu, bisik hatif kata-kata ayu menusuk tepat di organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perutku. Tetapi semua hanya alunan lirih, jelas kalah nyaring di ruang kedap dengan indikator musik yang merah membara dan gemrincing bunyi gelas yang nampak sering beradu. Akan tetapi, lantang suara lirih terdengar dan kuat indah ujar di saat itu, sejenak membuatku tersadar, pergerakan terasa melambat, seketika senyap, ku arahkan pandang di setiap sudut ruang. Hanya ¼ dari 60 kali ketukan jarum detik kenyataan itu terjadi, dan semua kembali seperti semula. Aku tau ada yang membingungkan, tapi aku tidak tau apa yang sedang berlangsung. Kesadaran itu hadir dan pudar di kala yang sangat singkat, ku terbangun ketika temanku mencoba meraih tanganku tuk bersanding, dan semakin mengukuhkan diriku menemani pergantian hari ini dengan dua kelopak mata menganga. Tidak lagi ku hiraukan bisikan-bisikan lembut itu, walupun Ia datang 2 kali lagi dan mencoba memberikan terapi. Tapi kali ini ku anggap semua suara sama.

Mentari masih enggan ketuk pintu malam. Tubuhku semakin tak berdaya, kulit semakin menempel pada tulang-tulangku, yang tidak lebih berharga dari apapun, dan atau mungkin akan tampak lebih sangat penting untuk makanan belatung di gundukan TPS. Yang sebenarnya merekapun tidak pernah puas dengan kondisi tubuh yang belum tersentuh makanan sejak awal siang. Bahkan Rohku enggan bergandengan tangan lagi denganku. Kegelapan sudah mulai memudar di angkasa, Rohku masih berkelana mencari kedamaian, yang tidak Ia dapatkan di dalam tubuh itu, kebingungaan Rohku meradang dikala ia harus mendapatkan supply porsi “makanan” yang sama sesuai dengan tubuh itu, Ia pun meluncurkan tanya kapan terakhir makanan itu diberi!!?. Rohku kembali dan tidak lagi mengenaliku, perlahan Ia berdiskusi dengan jiwa sompral, aku merasakan perdebatan hebat di antara keduanya. Hingga saat tak lagi ku rasa dan tak lagi bisa ku jenguk angan.

Kedigdayaan mulai goyah, uraian gizi-gizi terjumlah elok di setiap ukiran tubuhku, seketika rapuh. rajutan sengkarut kisah, tentang bagaimana menyamankan posisi dan pembiasaan diri yang menawarkan hasrat pembangkangan di jagat semesta. Aku dan aku bertahan, paling ofensif, yang telah menghadirkan surga-surga dan neraka bersenyawa di atas dunia. Bersama lantunan lagu nyanyian pipit di pepohonan, di saat sinar berpijar mengawali semua kehidupan, aku terlelap menjagai setiap sisa pembuluh hasrat yang kumiliki hari ini. ooh....... betapa indahnya dunia yang berkalang fajar, namun aku harus berdamai dengan takdir. Izinkan aku mendisiplinkan diri kedalam barisan nisan wahai bentangan seluloid dan alam semesta.

Elf
Malang - Karlos
Senin, 28 Nopember 2011;00:35:25

0 komentar:

Post a Comment