EVERYDAY STARTS AT THE MIDNIGHT

Monday, February 11, 2013

Keinginan Berbisa

Awal perjalanan ke Pantai Sipelot, kami berlima sudah di sambut dengan pemandangan indah. celah lobang pada rekahan awan di manfaatkan dengan baik oleh sinar matahari, untuk memanjakan mata. sebelum sampai di pantai, kami melepas lelah setelah hampir 3,5jam perjalanan dari kota Malang, dengan pemandangan dari atas yang cukup indah, sudah cukup untuk menambah energi yang hampir punah.

Bermanja-manja dengan alam semakin sering kami lakukan, belum juga beberapa menit, kami sudah berhenti untuk kesekian kalinya, dengan durian yang kami beli dari warga sekitar, seakan terhipnotis untuk setiap pemandangan yang mereka tawarkan, rasa ingin segera mendengarkan alunan metronome dari deburan ombak sipelot, tertunda untuk kesekian kalinya. mata kami kembali tertuju pada pantai dari kejauhan dan ketinggian bukit, tentu saja dengan sebatang rokok dan beberapa durian yang kami nikmati.

Perjalanan akhir: jalanan hampir sempurna, namun inilah titik dimana kuda-kuda kami harus bekerja lebih keras untuk memberikan perlawanan yang maksimal pada aspal yang semakin banyak lobang dan bergelombang. perjalanan panjang, melelahkan, dan terjalnya jalanan membuat kami lebih lihai dalam memacu dan mengendalikan kendaraan, yaaaaah...... memang ombak yang tangguhlah yang membuat nahkoda hebat. Pepohonan; yang kebanyakan kelapa sedikit pohon durian tersapu laju kendaraan, tanpa kami sadari, roda-roda kami terhenti di kampung terakhir. Sebelum kami benar-benar di alam, kami sempatkan untuk mengisi perut kami dengan nasi goreng yang di jual di emperan jalan, dengan pemandangan gereja tua, kami menikmati suap demi suap hidangan hangat itu.

Cuaca yang hampir selalu membuat keringat tercucur keluar, aroma pantai, dan suara khas ombak, hampir sudah dapat kami rasakan. Hingga saat yang di nanti pun datang, kami sejenak terdiam, tanpa kata, setelah kami melihat hamparan lautan, kami berenggan melepas lelah. Di tepi pantai, perlahan kaki kami langkahkan hingga hampir menyentuh lambaian demi lambaian ombak yang mencoba berjabat. hingga akhirnya kami terbius dan hanya suara burung dan deburan ombak meyakinkan kami: berucap selamat, bersapa.

Langit nampak berjelaga kelam, hitamnya membuat kami menyalakan senter dan apapun untuk menggugah kesadaran. Ingin kami bercengkerama lama terbasahkan, namun rasa lelah tetap saja merambah setiap bisep, ekor dan mata yang mulai menawarkan hasrat pembangkangan, kami menyerah terkalahkan. Tenda berdiri kokoh di bawah rindang pohon. Malam ini: adalah tentang bagaimana menyamankan posisi. Dengan kopi dan rokok, kami bercanda membabi buta, gelak tawa memecah hening malam, bersambut tawa akrab kami dengan lautan, hangat kami rasakan. Ejekan, sindiran demi sindiran terarah kepada kami; tiadakah engkau lupa, Akulah ibumu.

Konstelasi berwarna campur, menjadikan malam ini terpanjangkan. Sinar abadi itu menemani kami, hingga lelap merajai, ooooh betapa indahnya dunia bertiwikrama di bawah sinarmu terjagai. Dan cinta berlabuh setelah melewati sederetan obrolan antara kami pengagung kebebasan dan arsitek tanah dan angkasa.

Tak mau berlama-lama dalam ketidak-sadaran, kami kembali bercengkrama. kami melihat keharmonisan lautan dan nelayan adalah representasi harmoni di indah hegemoni, berbagi aman. keceriaan itu lama terjalin, bukti nyata timbal berbalik antara keduanya. Kekangenan antara alam dan kami pun mengajak kami pada percakapan dan perjalanan panjang kami mengeksplorasi secara detail.

Sambutan alam yang hangat sangat berharap pada kedatangan kami untuk kedua dan seterusnya, aku dan teman-teman akan selalu berjanji pada horizon, untuk berkunjung berbagi. Tak lama, kami berkemas dan untuk terakhir kali menjamah ujung lambaian tanganmu mendebur berjanji. Selamat tinggal Ibu, sampai jumpa lagi Sipelot

0 komentar:

Post a Comment